KabarUang.com, Jakarta -Saat ini proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) akan dimulai. Nantinya DME hasil proyek ini akan digunakan sebagai pengganti LPG demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Seperti yang kita ketahui, harga LPG yang beredar saat ini cukup meroket, pasalnya harga LPG non subsidi pun mengalami kenaikan. Untuk harga DME, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM menjelaskan rinciannya.
“Biaya DME meliputi harga batu bara, biaya pemrosesan atau pengolahan DME dan biaya distribusi yakni USD 617 per ton DME,” ungkap Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, dilansir idxchannel.com.
Menurutnya, harga ini nantinya akan setara dengan harga patokan dari LPG di kisaran 802 per ton. Namun, harganya akan jauh lebih murah dibandingkan dengan patokan harga LPG dalam 10 tahun terakhir ini.
“DME masih bisa bersaing bila dibandingkan dengan rata-rata Harga Patokan LPG 10 tahun terakhir USD 808 per ton,” lanjutnya.
harga DME bisa bersaing dengan LPG
Adapun, harga batu bara untuk DME sendiri sudah tetap (fixed). Jadi, harganya tidak akan terpengaruh dengan gejolak pasar (tidak mengalami kenaikan). Untuk pasokan batu baranya sendiri akan disuplai langsung oleh PT Bukit Asam.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah melaksanakan groundbreaking untuk proyek hilirisasi batu bara menjadi DME di Muara Enim, Sumatera Selatan. Pihaknya meminta proyek ini dapat selesai dalam waktu 30 bulan.
Sebelumnya, Jokowi sendiri sudah menyiapkan proyek ini sejak 6 tahun lalu namun, baru bisa terealisasi di tahun ini.
“Saya sudah berkali-kali menyampaikan hilirisasi, industrialisasi, pentingnya mengurangi impor ini sudah sejak 6 tahun lalu saya perintah, tapi alhamdulillah hari ini meskipun dalam jangka yang panjang bisa dimulai,” ungkapnya di kanal Sekretariat Presiden.
Alasan dibangunnya proyek ini bukan hanya karena soal kemandirian energi, tetapi Jokowi menganggap Indonesia terlalu nyaman impor LPG. Padahal, harga impor LPG ini mencapai Rp 80 triliun. Indonesia juga dinilai memiliki bahan baku yang dapat diolah menjadi gas, untuk itu, Jokowi ingin memanfaatkan hal ini.
“Impor LPG kita ini gede banget, mungkin Rp 80an triliun dari kebutuhan Rp 100an triliun impornya. Itu pun harus disubsidi untuk sampai ke masyarakat karena harganya sudah tinggi sekali, Rp 60-70 triliun subsidinya,” jelasnya.