KabarUang.com, Jakarta – Perbankan saat ini mulai menimbang sektor yang masih dapat diandalkan dalam menyalurkan kredit di paruh kedua tahun ini. Terlebih, adanya PPKM Darurat membuat penyaluran kredit sedikit terhambat.
PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk melihat bahwa penyaluran kredit tahun ini bergantung pada permintaan sektor rill. Direktur Risk Management and Transformation Bank BTN Setiyo Wibowo mengatakan saat ini permintaan kredit masih berada di segmen konsumsi misalnya kredit pemilikan rumah (KPR).
“Tertutama untuk orang yang beli rumah pertama, bukan untuk rumah investasi. Sedangkan sektor produktif, banyak pengusaha yang mengerem investasi untuk bikin pabrik baru maupun beli mesin baru,” ungkapnya, dilansir kontan.co.id.
Meski begitu, perseroan akan tetap fokus pada sektor perumahaan juga konstruksinya. Dia melihat permintaan kredit konstruksi masih minim karena para pengembang tengah menghabiskan stok rumah yang saat ini sudah ada.
“Ada permintaan kredit tetap ada, BTN menghabiskan kuota subsidi Rumah, kerjasama dengan BP Tapera untuk skema rumah dengan bunga murah. Lalu ada program promo dengan developer prima untuk bunga khusus,” jelasnya.
Ilustrasi via google.com
strategi perbankan jaga kredit tahun ini
Dirinya berharap startegi ini dapat mencapai proyeksi kredit BTN tumbuh 7% yoy sepanjang tahun ini dengan harapan pandemi akan terkendali selama semester kedua. BTN sendiri sudah menyalurkan pembiayaan senilai Rp 263,38 triliun atau meningkat 4,75% yoy dari Rp 251,43 triliun per Mei 2021.
Di sisi lain, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja melihat dua aspek yang dapat menopang kredit konsumsi yakni Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dan KPR.
“Karena kredit konsumen, ini sebut price sensitive. Bunga turun maka minat kredit akan bertambah, itu pasti. Kalau bunga naik, langsung turun permintaan. Jadi sangat elastis,” ungkapnya.
Hal ini berbeda dengan penyaluran kredit di sektor produktif karena harus ada kegiatan yang mendasari kebutuhan kredit.
“Beda dengan kredit modal kerja, kalau kerjanya tidak ada apa yang mau dikreditkan. Itu sebabnya kita susah sekali untuk tingkatkan kredit modal kerja apalagi kredit investasi. Kalau kredit investasi itu harus melakukan investasi tambahan. Kalau omzet sekarang masih lesu dan kecil dan ataupun kapasitas produksi masih berlebih maka susah. Kecuali untuk yang korporasi bergerak berorientasikan ekspor ataupun proyek pemerintah,” jelasnya.