KabarUang.com, Jakarta – Emas fisik via digital saat ini sedang menjadi tren. Sayangnya, masyarakat diminta waspada. Pasalnya kondisi ini sering dimanfaatkan lembaga investasi yang tidak berizin alias bodong.
Ilustrasi via bukalapak.com
Saat ini, emas menjadi salah satu instrumen investasi yang digandrungi masyarakat. Hal ini karena harganya cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Maka dari itu, pesatnya perkembangan investasi emas ini turut mendorong teknologi menghadirkan investasi emas secara digital.
Praktisi hukum bisnis Andy R. Wijaya mengimbau kepada masyarakat agar lebih berhati-hati jika ingin berinvestasi. “Pertama, masyarakat sekalu investor kalau mau berinvestasi harus di lembaga investasi yang mendapat izin dari OJK,” paparnya, dilansir kontan.co.id, Sabtu (14/11).
Dia berpendapat bahwa sebagus apapun lemaga investasinya, pilihlah investasi yang sudah mendapatkan izin dari OJK agar terhindar dari penipuan. Selanjutnya, para investor harusnya tidak tergiur dengan profit yang tinggi. Pasalnya profit yang tinggi ini selalu diiringi dengan risiko yang tinggi.
“Maka jika ada janji keuntungan tinggi apalag flat tiap bulan, pasti bohong. Investasi emas digital di pasar bursa berjangka keuntungannya tidak bisa flat,” lanjut Andy.
Pastikan lembaga investasi memiliki surat izin dari OJK
Sementara, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengatakan bahwa kunci dari investasi adalah logis dan legal. Kedua hal ini harus menjadi pertimbangan penting. Logis berkaitan dengan tawaran investasinya.
“Kalau tidak masuk akan, bahkan dua kali dari deposito maka berhati-hati dan legal harus dicek izin usaha dari OJK,” ungkapnya.
Hoesen membeberkan modus penipuan investasi yang saat ini beredar yakni dengan penghimpunan dana terlebih dahulu yang berbasis online. Setelah itu, kegiatan penasihat investasi yang ternyata tidak memiliki surat izin dari lembaga berwajib.
Dilansir dari laman resmi OJK, ciri utama berkedok investasi ini yakni tidak memiliki dokumen perizinan yang sah dari regulator (pengawas) terkait dengan OJK, Bank Indonesia, Kementerian Koperasi dan pihak-pihak lainnya.
Umumnya perusahaan itu berbentuk badan usaha seperti perseroan atau koperasi simpan pinjam. Biasanya mereka hanya memiliki dokumen akta pendirian/perubahan perusahaan, Nomor wajib pajak (NPWP), keterangan domisili, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).