KabarUang.com, Jakarta – Kebal terhadap pandemi, Emiten PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. (AMRT) masih bisa mencetak kenaikan laba bersih di tengah Covid-19.
Ilustrasi via emitennews.com
Hal ini berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2020 yang diunggah di laman keterbukaan informasi BEI pada Senin (3/8). Di mana perseroan berhasil mencatat pertumbuhan laba bersih sebesar 23,2 persen jika diandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu.
Realisasi laba bersih ini setara dengan perolehan laba bersih dengan nilai Rp 493,26 miliar sepanjang periode pertama tahun 2020. Pendapatan ketiga karingan ritel, Alfamart, Alfamidi dan Lawson ini tumbuh hingga 5,33 persen secara tahunan di mana labanya menjadi Rp 38,08 triliun.
Produk makanan menjadi penyumbang laba terbesar untuk perseroan
Apabila dilihat dari segmentasi, pendapatan dari penjualan makanan masih menjadi penopang terbesar bisnis perseroan. Hal ini karena sebesar 64,93 persen laba bersih dihasilkan dari penjualan makanan. Namun, segemen bukan makanan dan jasa pun mengalami kenaikan yang signifikan di mana kenaikannya masing-masing 21,1 persen dan 64,55 persen secara tahunan pada periode awa tahun.
Kondisi kenaikan laba bersih yang dirasakan ini berbeda dengan emiten ritel besar lainnya. Diantaranya PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) serta PT Matahari Department Store Tbk (LPPF). Kedua emiten ini mengalami kerugian selama pandemi. Pasalnya konsumsi pakaian bukan menjadi prioritas ditengah pandemi saat ini.
Sementara, di lantai bursa, saham AMRT ini ditutup terkoreksi 2,7 persen atau 20 poin ke level Rp 720 kendati kinerja keuangannya positif pada paruh pertama di tahun ini dilansir bisnis.com.
Apabila berdasarkan pemberitaan sebelumnya, seorang Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya mengatakan rilis data manufaktur Indonesia atau Purchasing Managers Index (PMI) ini yang menjadi pemicu aksi jual bersih asing.
Berdasarkan data yang terbit pagi ini, index PMI Indonesia berada di level 46,9 pada bulan Juli lalu 2020. Hasil ini dinyatakan naik dibandingkan Juni 2020 yang hanya berada di 39,1. Namun, level ini masih menunjukkan adanya kontraksi karena masih di bawah level 50.
“Index PMI Indonesia yang masih kontraksi memicu net sell besar-besaran di pasar saham,” tutupnya .