
KabarUang.com, Jakarta – Pembangkit listrik yang ada di Jakarta dan juga sekitarnya terbukti tidak memberikan kontribusi besar bagi lingkungan, Terkhususnya kondisi udara Jakarta.
Hal ini terjadi karena sebagian besar pembangkit listrik yang digunakan di kawasan Jakarta adalah gas alam, yang kandungan pencemarnya bisa dibilang rendah.
Sementara untuk PLTU atau berbahan bakar batu bara yang ada telah dilengkapi dengan continuous emission monitoring system atau yang disingkat dengan CEMS yang berfungsi untuk memonitor emisi secara kontinyu.
Demikian kesimpulan yang diambil berdasarkan simulasi perkiraan sebaran konsentrasi emisi yang terdispersi hingga ke atmosfer.
Simulasi dilakukan oleh Pusat Penelitian Pengembangan PLN atau PLN Research Institute, dan juga dituangkan dalam laporan berjudul “Kajian Dampak Emisi Pembangkit yang Berpengaruh terhadap Kondisi Udara Jakarta”, diterbitkan 7 Februari 2019. Demikian dikutip dari Okezone com, Jakarta, Sabtu (3/8/2019).
Berdasarkan RUPTL PT PLN (Persero) Tahun 2019 sampai 2028, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Wanhar memaparkan, kebijakan pengembangan ketenagalistrikan di Indonesia sangat memperhatikan kebijakan penurunan emisi dan Gas Rumah Kaca atau yang disingkat dengan GRK Nasional.
“RUPTL PLN 2019-2028 menargetkan penerapan bauran energi pembangkit listrik dengan komposisi batu bara 54,4%, EBT 23,2%, gas alam 22% dan BBM 0,4%,” katanya seperti dikutip dari Okezone com.
Melalui penerapan bauran 23% EBT, jelas Wanhar, Pemerintah juga telah menargetkan penurunan emisi sebesar 137 juta ton CO2, yang berarti ada suatu penurunan 28% dari skenario tanpa EBT yang bisa mencapai 488 juta ton CO2 pada tahun 2028.