
KabarUang.com , Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada keanehan dalam penerimaan negara dari sektor kelapa sawit. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif melihat ada potensi masalah karena luas lahan terus bertambah, tapi bertolak belakang dengan penerimaan pajaknya.
Laode mengatakan dirinya memang belum dapat menyebutkan potensi pajak yang menguap, tapi ia memastikan setidaknya 40 persen perusahaan sawit diduga tak membayar pajak sesuai peraturan. Menurut Laode pada 2018 lalu saja, sawit bukan pembayar pajak terbesar, tetapi malah para BUMN.
“Pajak dari sawit bukannya meningkat malah menjadi menurun. Ketika apa? Ketika lahan sawit kita bertambah luas,” kata Laode di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta,
Karena itu, kata Laode, KPK menaruh perhatian pada persoalan ini. Sebab, sumber daya alam kerap menjadi praktik nakal para pengusaha. “Karena dia paling banyak korupsi. Di setiap [sektor yang] banyak uang, di situ ada potensi korupsi,” ucap Laode.
Peneliti fiskal dari Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet mengatakan kritik KPK itu bisa jadi ada kaitannya dengan persoalan penghindaran pajak oleh perusahaan berbasis komoditas. Paling tidak, kata Yusuf, ada dua langkah yang bisa ditempuh.
Pertama, transfer pricing yaitu pemindahan keuntungan ke perusahaan berstatus sister company di luar negeri yang tarif pajaknya lebih rendah. Alhasil keuntungan yang dikenakan pajak di Indonesia juga berkurang.
Kedua, kata Yusuf, thin capitalization, yaitu ketika suatu perusahana melakukan pinjaman yang berlebihan sehingga rasio utangnya meningkat tinggi.
Melalui praktik ini, pembayaran pajak dapat menjadi lebih rendah karena rasio pemodalan perusahaan seolah-olah tergerus.\ “Tidak boleh dilupakan ada kecenderungan praktik penghindaran pajak perusahaan besar. Ini bukan menuduh, melainkan rahasia umum,” ucap Yusuf.
Kendati demikian, Yusuf mengingatkan ada lagi faktor yang cukup masuk akal, yaitu melemahnya kinerja industri sawit akhir-akhir ini. Ia mencontohkan saat ini harga kelapa sawit internasional berada di bawah 500 dolar AS per ton sehingga wajar bila akhir-akhir ini ini industri itu lolos dari pungutan sesuai aturan Permenkeu.
Belum lagi pertumbuhannya, kata Yusuf, juga berangsur melemah akibat sentiment ekonomi global yang tidak mendukung.
Namun hal ini, kata Yusuf, bukan berarti pemerintah bisa lepas tangan. Ia menilai pemerintah terutama Ditjen Pajak (DJP) tetap harus bertindak menyelidiki potensi pajak yang hilang ini.