![]() |
Ilustrasi Rupiah via akseleran |
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) yakni Putu Rusta Adijaya juga mengatakan, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat terapresiasi seiring posisi dovish The Fed yang menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga acuan. Apresiasi nilai tukar Rupiah ini juga dirasakan dengan seiring dengan kepercayaan investor pada ekonomi Indonesia di tengah pelambatan ekonomi global.
“Posisi dovish The Fed perlu diwaspadai oleh otoritas moneter di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Posisi dovish menandakan The Fed juga concern terhadap pertumbuhan ekonomi dunia yang diproyeksi turun 0,2 percentage point di 2019 dan 0,1 percentage point di 2020,” ungkapnya dilansir dari Harian Neraca, Kamis (28/3/2019) seperti dikutip dari okezone com.
Bank Indonesia ini juga masih perlu memperkuat kerjasama dengan bank sentral negara tetangga, seperti Singapura, Thailand dan juga Malaysia untuk mekanisme Local Currency Swap (LCS). Penerapan kebijakan ini dapat memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah pelambatan ekonomi global dan juga di tengah perang dagang.
“Kalau sampai hal ini terjadi, maka ekspor mereka akan semakin murah sehingga barang-barang mereka akan tersebar ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini akan mengurangi competitiveness of goods. Asumsi ceteris paribus, Indonesia akan mengimpor barang dari China, terjadi trade deficit, dan mempengaruhi nilai tukar Rupiah,” jelas Putu seperti dikutip dari okezone com.
Pemerintah juga perlu mewaspadai kondisi Current Account Deficit (CAD) karena untuk salah satu komponen dari CAD ini adalah trade balance. Jika terjadi currency war, maka jumlah CAD akan bisa jadi semakin besar dan juga investor akan bersikap spekulatif yang akhirnya mempengaruhi nilai tukar secara mendalam.